Pages

Monday, November 25, 2013

sakit hati

“kirim enggak, kirim enggak., gimana ne, kirim enggak ya?” aku bicara sendiri dengan diriku. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, mondar-mandir, berguling-guling dikasur, kembali memencet kontak dalam gaget ku. “Kenapa aku jadi galau seperti ini ya” lagi aku bicara dengan diriku sendiri. Menatap wajahku dalam-dalam dalam cermin besar dekat lemariku. Mengacak-acak tatanan rambut, “ah kenapa kok jadi gini ya”., membuka jendela kamar, matahari masih terik bersinar gagah diatas sana, sombong dengan cahaya terang, kututup kembali jendela kamarku. Menjatuhkan diriku lagi ke kasur. “ah kenapa aku masih berharap dan memikirkannya” bisik hatiku. Membenamkan kepalaku, diantara bantal-bantal empuk, terus aku masih dipermainkan dengan pikiranku sendiri.
“kalau aku kirim pesan dia GR enggak ya?” aku bicara sendiri. Memegang gaget ku, menatap layar, menyentuhnya, mencari-cari kontak yang ku inginkan. Baru mau menulis satu kalimat.
“jangan kirim pesan, dimana harga diri mu Gas” sisi lain dari diriku bicara lagi. Haduh, jariku berhenti menekan tombol. “Ah.., kanapa aku ini, ingin kirim pesan saja kenapa ribet gini”.
Sebenarnya ini bukan soal harga diri, tapi ini lebih bisa dibilang gengsi, ya gengsi. Aku masih belum bisa berdamai dengan kejadian kemarin. Saat Fabita menuduhku selingkuh dengan Lina. Fabita terlalu cemburu kepadaku, padahal aku tidak sengaja mengembalikan tas Lina yang kebetulan tertinggal dikantin, lalu kuantarkan kepada Lina. Namun urusan ini jadi lebih rumit lagi saat Fabita dengan bantuan mata-mata temannya tiba-tiba menuduhku selingkuh dengan Lina.
◊◊◊◊◊
“gas, kamu kenapa sampai bisa nganterin tasnya Lina, ke kelasnya” siang itu, Fabita datang di depan kelasku saat pulang kuliah.
“lho kamu kok jadi gini seh Ta, “ aku masih belum menjawab pertannyaan dari Fabita, dengan wajahnya yang terlihat marah kepadaku.
“kamu tadi nganterin tas Lina ke kelasnya bukan?” fabita menyerangku lagi, sedikit dengan nada suara lebih tinggi. Aku biarkan saja Fabita marah dulu, jangan sampai aku terlarut oleh emosinya. Dia masih menatapku, bibirnya berubah manyun, poni dirambutnya sedikit berantakan. Tangan sebelah kanannya mengepal ingin memukulku. Tatapan matanya tajam, bisa kulihat Fabita akan menjatuhkan air mata.
“kamu masih perhatian kan Gas, dengan Lina, udah deh ngaku aja, sudah sering aku mendengar kalau kamu sekarang ingin mendekati Lina lagi?”
“ini tidak seperti yang kamu kita Ta, dan aku bisa jelasin semuanya, jangan asal nuduh gitu,, aku hargai kecemburuaan mu tapi jangan kayak gini dong”. Akhirnya dia berlari menjauh, mungkin dia tidak ingin aku melihatnya menangis. Luapan emosinya meletup., “kamu jahat Gas”..! terdengar suara Fabita ditujukan untukku. Ini lucu sekali belum sempat aku menjelaskan dia sudah pergi. Aku tahu rasa sayangnya Fabita itu terlalu over protektif. Rasa posesifnya sudah level puncak. Selalu curiga, selalu harus di nomor satukan.
◊◊◊◊◊
“denger ya Lin, rencana kita harus berhasil, kamu terus deketin Bagas, agar dia seolah-olah ngejar kamu” suara perempuan jauh terdengar dari telepon.
“ok kamu tenang saja asal perjanjian ini disepakati, aku akan terus menjalankan misi ini”
“oh iya jangan sampai ada yang tahu tentang sandiwara ini, semua harus terlihat sesempurna mungkin”
“oK..” percakapan mereka berakhir.
Ini memang aneh, semua penuh dengan sandiwara. Tidak benar-benar alami. Cinta sekalipun bisa berganti wajah. Dan untuk mendapatkan apa yang dinginkan, ada harga yang harus dibayar. Ada perasaan yang dikorbankan. Ada sandiwara yang harus dimainkan. Semoga rencana kita berhasil. Aku dapat yang aku mau. Dan kamu juga dapat yang kamu mau.
Memori itu masih terekam jelas. Aku belum benar-benar memaafkanmu. Sekarang saatnya aku membalas semua sakit hati ini. Jangan pernah berharap aku akan mengasihanmu seperti dulu. Luka itu tak dapat terhapus begitu saja. Waktu terus membawanya, goresan-goresan kecil masih membekas jelas. Dan sekarang Tuhan telah memberiku kesempatan. Skenario yang ku tunggu. Sebentar lagi kamu akan hancur.
Lina menatap tajam foto mantan kekasihnya sambil tersenyum sinis. Tidak beberapa lama. Ada pesan muncul di layar gadgetnya.
“maaf ya Lin, gara-gara tadi. Maklumlah sifat Fabita memang seperti itu” pesan dari Bagas. Persoalan sederhana tadi memang sempat ramai. Setelah Fabita menemui Bagas. Dia langsung melabrak ke kelas Lina. Menuduh Lina dan seterusnya.
Lina masih hening sesaat. Pikirannya  masih fokus untuk menulis kata-kata dramatis.
“aku paham Gas, Fabita memang cewek posesif, so sudah aku maafkan kok”
Sengaja aku buat sandiwara ini semakin menarik. Aku tahu kelemahanmu Gas. Diujung sana pasti kamu mulai terpengaruh dan terjebak dengan sandiwara ini. Genggaman kemenangan sedikit demi sedikit. Taburan bumbu mulai ku racik. Menjadi racun yang siap menghanncurkanmu.
◊◊◊◊◊
Balasan pesan dari Lina membuat Bagas semakin luluh. Ia berusaha mengingat lagi saat dia masih berpacaran dengan Lina. Harus ia akui bahwa Lina itu gadis kalem, tidak posesif, penurut, tidak menunut apa-apa. “Bodoh-bodoh” Bagas mengutuk dirinya sendiri. Mengapa aku meninggalkan Lina, hanya gara-gara Fabita.
Waktu terasa berputar lambat. Kenangan-kenangan memori itu muncul dalam sekat-sekat ingatan di kepala. Ada semacam pikiran untuk selingkuh dengan Lina dan meninggalkan Fabita. Namun rasa sayang Bagas ke Fabita masih besar, lagi pula terlalu munafik juga jika tiba-tiba ia berpaling kembali kepada Lina.
6 bulan yang lalu sebelum Bagas berpacaran dengan Fabita. Dia memang mencintai Lina. Kisah mereka sudah tersohor di berbagai pojok kampus. Kemana-mana selalu berdua. Keromantisan mereka membuat teman-teman mereka iri. Secara Bagas salah satu cowok cover boy di kampus. Tidak hanya tampan, tetapi juga pintar. Beruntung sekali Lina berpacaran dengan Bagas. Namun karena sebuah kecerobohon. Tiba-tiba hubungan mereka digunjang. Bisikan-bisikan teman-temannya membuat Bagas sombong dan ingin mencari cewek yang lebih. Itulah kesalahan yang sekrang menghantui pikiran Bagas. Kenapa begitu mudah dia memutuskan Lina.
Sekarang penyesalan itu tidak ada artinya. Hubungannya dengan Lina sudah seperti teman biasa, meskipun akhir-akhir ini Bagas mulai tersentuh menghadirkan rasa cinta romantisme masa lalu mereka.
◊◊◊◊◊
“oke, semua sudah sesuai rencana, tinggal merangkainya menjadi rangkaian yang cantik, ini harus sukses” Fabita bergumam dengan dirinya sendiri, setelah menutup telepon.
“gimana Ta, kamu sudah pastikan si Lina bisa diajak kerja sama?” cowok disebelah Fabita membuka pembicaraan mereka.
“tenang semua sudah sesuai rencana, kita tinggal menunggu. Sebentar lagi kamu juga akan melihat drama cinta menyedihkan. Dan kita bisa bersenang-senang berdua.” Senyum licik Fabita, sambil memgang tangan cowok disebelahnnya.
“kamu memang licik Ta, sungguh kamu bakalan mau melakukan ini demi aku”
“hehe, bukannya kamu juga yang lebih licik Sayang,” mereka berdua hanya tertawa,
“Permainan segera di mulai, sebentar lagi semua orang di kampus juga bakalan tahu siapa yang menjadi pemenang dari cerita ini.” gumamnya dalam hati.
◊◊◊◊◊
“ayo-ayo”suara teriakan para sporter pertandingan futsal membahana seluruh ruangan. Hari ini memang ada pertandingan futsal dalam rangka ulang tahun kampus. Kali ini tim ku melawan tim Surya. Sangat meriah karena ini adalah partai final. Hampir semua mahasiswa menonton. Pinggir lapangn berjubel.
“yah kok gak masuk seh” umpat ku, yang baru saja menendang bola ke arah gawang lawan. Waduh pasti ini gara-gara semalam. Pikiranku semakin tidak konsen. Pertandingan ini, mau tidak mau aku harus menang, kalau tidak harga diri ku yang jadi taruhannya. Gengsi jika harus kalah melawan tim Surya. Dia rival ku, dalam segala hal. Prestasi, cinta, dan segala hal. Dia selalu kalah dengan ku. Dulu aku pernah taruhan untuk mendapatkan cinta dari Fabita, kasihan nasibnya selalu menjadi under dog. Dan jika hari ini aku sampai kalah, maka gantian pula aku yang menanggung malu.
Waktu terus berjalan, menit demi menit pun berlalu. Babak pertama usai, dan skor masih bertahan 0-0. Aku terus memperhatikan tribun di atas ku, siapa tahu ada Fabita yang menontonku. Mata ku tak henti-henti mencari sosok Fabita diantara kerumunan penonton.
“heh Gas, kenapa seh kamu hari ini kok gak kayak biasanya?” tanya Edo kepada ku.
“iya, neh semalem aku lagi banyak pikiran”
“oh kamu masih kepikiran peristiwa sama Lina dan Fabita tempo hari?”
Aku hanya diam. Semua pasti tahu peristiwa itu, termasuk rival ku Surya. Dan mungkin ini moment yang dia tunggu untuk membalas kekalahnya kepada ku.
Pertandingan pun dimulai kembali. Tim sedikit kualahan melawan tim Surya kali ini, sepanjang babak penyisihan tim ku terkenal tim terkuat. Lawan kami tidak sampai babak kedua, sudah tertinggal jauh. Entah kenapa di pertandingan final ini, tim ku rasanya sulit sekali untuk mencetak anggka.
◊◊◊◊◊
“hallo Lin, pastikan Bagas. Jatuh cinta lagi sama kamu. Hari ini juga saat tim Bagas kalah dengan Tim Surya. Aku akan putuskan dia, jadi kamu harus siap bersandiwara” suara wanita itu terdengar sadis.
“ok, tenang saja. Dan aku juga yakin tim Bagas akan kalah, tadi sebelum bertanding. Aku sudah memasukan obat loyo kedalam minuman dari tim Bagas.”
‘wah,,, pinter juga kamu Lin, balas dendam mu memang kejam”
“so pasti siapa dulu, dan kamu lihat saja sebentar lagi berita kekalahan Bagas akan menggaung seantero kampus”
“hahaha” suara tawa mereka berdua. Sungguh rencana sadis. Sebentar lagi dendam cinta mereka akan terbalaskan. Bagi Lina, sakit hati harus berbalas sakit hati.






Sunday, April 28, 2013

Kaca Mata Helena


Suara riang, canda tawa, terdengar lepas, hampir seluruh teman di ruang kelas, kami semua ikut tertawa, termasuk aku yang tadi diam, dan sempat mengantuk tiba-tiba bangun dan ikut tertawa. Sebenarnya aku tidak tahu detail kejadiannya seperti apa, namun aku cuek saja, bergaya tahu dan ikut tertawa. Tiar, yang duduk disebalah ku masih tertawa, sampai terpinggkal-pingkal memegang perutnya. Ekspresinya benar-benar lepas.

“Bimo, cepat keluar lalu cuci muka, bapak tidak mau ada siswa ngantuk dan meremehkan ketika saya sedang  mengajar” terdengar suara Pak Fuad, tegas memecah suara tawa kami. “jelas-jelas ini pelajaran ekonomi bukan geografi, enak saja kau malah menggambar pulau di meja dengan air liur mu” belum sempat pak Fuad selesai berkata, anak-anak sudah tertawa lagi, membuat suasana kembali ramai. Haha aku juga kembali tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi dari wajah Bimo, yang terlihat lugu dan polos. “sudah-sudah diam semua, konsentrasi lagi ke pelajaran” suara pak Fuad terdengar keras, mengendalikan suasana ribut akibat tawa kami. Semua anak-anak di kelas, diam dan kembali normal. Bimo, dengan muka terlihat kusut, dengan sedikit belepotan mengusap air liur yang ada dipipi dengan telapak tangan segera keluar meninggalkan kelas menuju kamar mandi

Bener-benar lucu sekali, kau Bimo. Benar-benar menggelikan peristiwa tadi, kenapa kau sampai tertidur pas pelajaran ekonomi, pak Fuad lagi” kata Tiar yang menepuk-nepuk pundak Bimo yang ada di sebelahnya. Bimo terlihat sedikit jengkel, dan diam tidak langsung menanggapi kata-kata dari Tiar. Aku yang duduk di sebelah Arya hanya diam, dan menahan tawa, kulihat Arya juga demikian. Memang lucu jika mengingat peristiwa tadi. 

“ah sudahlah tidak usah dibahas, tidak lucu tahu” gertak Bimo, sedikit marah dan menyampar kue di depannya. Bimo mengunyahnya sambil melihat sinis ke arah Tiar.

“he kawan, tidak usah emosi gitu lah, santai, kami kan teman mu semua, wajarlah jika kami ingin tahu kenapa sampai kau mengantuk, tidak biasanya bukan kau mengantuk di kelas, sampai ngiler pula” lagi-lagi Tiar dengan nada terdengar mengejek di kalimat terakhirnya.

Bimo tidak langsung menaggapi masih terus mengunyah dan mengambil teh botol di depannya. “dengar ya, kalian mau tahu kenapa aku tadi sampai mengantuk dan tertidur di kelas, “ intonasi Bimo berubah, seolah dia ingin bercerita, dan ada sedikit rahasia yang disembunyikannya. Lirikan matanya, mengarah kepada kami semua. Aku yang tadi hanya diam, jadi ikut mendekat dan penasaran cerita dari Bimo. 

“kalian tahu, semalem aku tidak bisa tidur, gara-gara apa?..” kalimat Bimo berhenti. Dengan santai dia meminum teh botol di genggaman tanganya, lirikan matanya masih menuju ke arah kami. Dan kami seperti anak kecil yang penasaran, dengan sabar kami menunggu kelanjutan cerita dari Bimo. Susana hening sesaat.

“semalem aku, .., jadi gini dengar ya, sini kalian mendekat aku kasih tau rahasia kenapa tadi malam aku tidak bisa tidur” intonasi suara Bimo berubah pelan, dan tangannya mengajak badan kami untuk merapat. Seolah memang ingin menceritakan rahasia besar. Aku dengan antsusias menurutinya, dan menggeser pantatku untuk mendekat. Susana kantin siang itu cukup rame. Kami berempat duduk di bangku panjang yang saling berhadapan dengan satu meja di tengah. Tidak hanya aku, Tiar, dan Arya juga sama, mereka berdua juga antusias ingin mendengar Bimo kembali bercerita.

“kalian tahu kan, siapa teman kita yang paling cantik di sekolah?” suara Bimo melanjutkan ceritanya, dengan melirik ke arah kami.
“Helen maksudnya” kata ku memotong kalimat Bimo
“ssttt jangan keras, keras.., “dengan cepat Bimo memberikan isyarat kepadaku untuk tidak berkata terlalu keras.
*****
Aku baru tahu ternyata benar cerita dari Bimo beberapa waktu yang lalu, aku juga sependapat dengan Bimo. Seperti pagi ini aku melihatnya di depan gerbang sekolah, bebarengan beberapa siswa yang juga datang menuju gerbang sekolah, mobil mewah itu menepi di dekat gerbang sekolah, warnanya bagus sekali, silver berlilauan terkena sinar matahari pagi. Pintu depan sebelah kiri mobil itu terbuka, ya tidak salah lagi itu Helen. Gadis pujaan di sekolah kami, beberapa bulan ini namanya sangat terkenal. Majalah model remaja kota kami yang membuatnya terkenal, ya sejak dia menang dalam kontes model remaja yang diselenggarakan majalah tersebut. Di sekolah juga tidak kalah terkenal, tidak salah pula kalau cerita Bimo, yang tidak bisa tidur itu. Cerita Bimo waktu itu, dia tidak bisa tidur hanya karena terpesona dan tidak sengaja melihat Helen, dalam sesi pemotrentan, kebetulan Ayah Bimo memang bekerja disana, dan waktu Bimo menjemput ayahnya dari tempat kerja, Bimo tidak sengaja melihat Helen. Cerita Bimo ya masih wajar-wajar saja sebenarnya, siapa pula yang tidak setuju dengan kecantikan Helen bak bidadari itu.

Tampilan Helen pagi ini semakin mempesona, model rambutnya terurai panjang sedikt bergelombang, kulitnya terlihat cerah, wajah manisnya lengkap sudah kecantikan Helen. Dan satu lagi yang menambah kecantikannya adalah kaca mata, ya kaca mata berwarna merah muda itu semakin menambah kecantikan Helen. 

“hoe”..Arya datang disampingku, sampil menepuk pundakku dari belakang, yang membuatku kaget. Wajahnya yang cengar-cengir sok manis itu, terlihat akrab menyapaku.

“ada apa, Yan, kau masih penasaran dengan Helen?” tanya Arya, yang ada disampingku, sambil terus berjalan menuju pintu masuk gerbang sekolah, dan sosok cantik itu perlahan juga beranjak melangkah pergi meninggalkan mobil yang mengantarkannya. Lihat jalannya saja sungguh menarik, tas punggung mungil, menambah elok saja cara berjalan Helen yang sedikit pengangkat pinggulnya, dan bergoyang ke kanan dan kiri. Sungguh aku tidak kuat melihatnya  cantik sekali.

“Hoe” suara Arya lagi-lagi mengagetkanku, dan spontan aku yang dari tadi melihat ke arah Helen, tidak memperhatikan apa yang ada di depanku. Dan “brakk..” suara kepala ku menarabrak pintu kaca saat melangkah masuk ke dalam lorong sekolah..
“hahahaha, Riyan-riyan, makanya kalau jalan itu, matanya jangan keman-mana, nah tu kan akhirnya kena juga kau, sampai pintu kau tabrak segala” Arya mengejeku dengan tertawa senang. Aku masih kesakitan mengusap kepala ku yang menabrak pintu tadi, untung tidak terlalu keras. Melirik ke arah Arya yang masih tertawa mengejeku.

Dan saat ingin membalas ejekan Arya tadi, tiba-tiba Helen berjalan pelan di samping Arya dan sedikit melirik ku, ya Helen gadis pujaan di sekolah kami itu meliriku, untuk sepersekian detik aku sangat senang, meskipun hanya lirikan matanya, hilang sudah rasa sakit dikepalaku, ku balas lirikan matanya dengan senyum, namun dia tidak bereaksi lagi, dan terus berjalan mendahului kami.

“hoe” gantian aku yang menepuk pundak Arya, mengangetkannya. Ternyata bukan aku saja yang tersihir kecantikan Helen, Arya juga, dia juga menghentikan tawa tadi saat sosok cantik itu berjalan disampingnya. Memperhatikannya terus, mata Arya mengikuti gerakan Helen yang mendahului kami. Waktu sesat berjalan lambat. Wangi parfum itu, hemm sungguh wangi sekali.

“hayo, ah ternyata kau juga tersihir dengan kecantikan Helen, bukan?” goda ku kepada Arya yang dari tadi mengejekku.

“ah, kau ini siapa pula yang tidak tersihir dengan bidadari manis itu, semua juga sudah tahu, hampir semua anak cowok se-sekolah juga tahu” jawab Arya ketus.
*****
Hari-hari berlalu, aku, Tiar, Arya, dan Bimo masih saja membicarakan Helen. Dan tidak ada yang lebih seru untuk tidak membicarakan Helen. Lagi-lagi Helen, helen dan helen. Di kantin semua cowok juga rame membicarakan, di kelas, lapangan, ruang guru, lab. Bahasa, ah semua tempat di sekolah ini rame membicarakan Helen dengan segala kelebihannya. Helena seperti artis saja. dia bagaikan ikon baru di sekolah, secara tidak langsung kepopuleran Helen juga membawa nama baik sekolah kami. 

“gimana Bim, kita boleh masuk kan ke studio pemotretan di kantor ayah mu kerja itu” Tiar menggoda Bimo. Aku tahu maksud Tiar apa, ya sejak terkena virus Helen, kami berempat selalu saja mencari celah untuk bisa lebih dekat dengan Helen. Tapi diantara kami berempat yang paling beruntung tetap Bimo, karena Bimo lebih sering ketemu Helen di luar sekolah. Helen seorang model majalah, ayah Bimo juga bekerja di majalah itu, jadi dengan banyak alasan Bimo punya banyak kesempatan datang ke tempat bapaknya kerja meskipun lebih sering menjemputnya jika, ayahnya malas bawa kendaraan. 

“hemmm, gini jadi kata ayah ku, besok ada sesi pemotretan di diluar alias outdoor, so jadi kata ayahku kita boleh lihat pemotretannya Helen”Bimo bersemangat menjelaskan, kepada kami. Saat kami main ke rumahnya. Terlihat wajah Tiar mulai bersemangat, senyum ambisi itu.

“wah, asyik dong, besok kita bisa lihat pemotretannya Helen live alisa langsung” Tiar bersemangat.

“ah kamu Yar, ngarep banget pengin lihat Helen” celetuk Arya yang dari tadi diam saja.
“gak usah jaim deh Ya, sebenernya kamu juga pengin lihatkan” balas Tiar kepada Arya.

“udah-udah gak usah saling iri-irian segala, semua benar” aku menengahi mereka, bila dibairin urusan sepela malah jadi pertengkaran mulut, tidak enak kan bertengkar di rumah Bimo.
*****
Ke-esokan harinya, kami ber-empat berangkat ke kantor majalah model itu, untuk meleihat pemotretan Helen. Kami semua sangat bersemangat, berdandan semaksimal mungkin, suapaya terlihat ganteng dan keren di depan Helen. Sebenarnya setiap hari kami juga bertemu Helen di sekolah, tapi kami tidak satu kelas, jadi ketemu paling ya sekedar menyapa, rasanya masih malu-malu gimana gitu untuk langsung bicara sama Helen. Helen juga anaknya sedikit pendiem jadi ya, kalau di sekolah kami hanya jadi pemuja rahasia sang bidadari.

Hari inilah kesempatan kami, untuk benar-benar lebih dekat dengan Helen. Lebih baik bersaing dengan temen deket sendiri. Tau kelemahan masing-masing. Kalau bersaing di sekolah kami jelas kalah modal. Hampir semua cowok di sekolah naksir sama Helen. Sok-sok baik gitu, pas Helen di kantin sok akrab dengan membelikan minumlah, menawarkan ini itu lah, Helen malah terlihat cuek saja. dasar cowok perayu.

Setelah sampai di tempat pemotretan, kami benar-benar kagum melaihat Helen, bergaya di depan kamera, ya meskipun kami hanya boleh melihat dari jauh, namun tidak terlalu jauh dari jarak pandang kami.  Helen bak artis di TV, bergaya, dibayang-bayangi lampu blizt kamera dan cahaya dari beberapa lampu pemotretan Helen semakin apik. ihh, kalau diperhatikan dengan cermat Helen sempurna sekali. Cantik.  Kami seperti mengintip bidadari, mirip cerita  jaka tarub, tapi bedanya kami mengintip bidadari yang di foto hehe. tidak terasa sudah 2 jam kami tempat pemotretan juga. Menyimak dengan setail seluruh rangkain pemotretan ini, mulai dari persiapan, hingga melihat Helen berganti kostum warna-warni yang menarik itu, sungguh menyenangkan. Dan tidak terasa pula acara pemotretan Helen sudah hampir selesai.

“gimana seru kan!, untung aku baik pada kalian dengan mengajak kalian ke tempat kerja ayahku” seru Bimo dengan sombong kepada kami. Kami tidak lantas menjawab dan hanya saling melirik.

“heh siapa pula yang mengajak kami kesini?” balas Tiar kepada Bimo tidak mau kalah.

“kau sendiri kan yang menawari kesempatan ini, melihat sang bidadari katamu, ya kami jelas mau lah, siapa juga yang tidak mau melihat bidadari secantik Helen” nada Tiar sangat keras sekali melawan.

Kami terus berjalan meninggalkan lokasi pemotretan, dan tidak sengaja pula dibelakang kami ternyata ada Helen yang berjalan pelan.
“Eh, ternyata kalian disini, sejak kapan, aku kok baru lihat kalian?” tiba-tiba Helen mendekat dan menyapa kami.

Haduh sudah tidak karuan rasanya, kami semua jadi salah tingkah ke-GR an. Kami hanya saling menatap dan tersenyum celingukkan, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Helen hanya tersenyum kecil melihat tingkah kami.

Beberapa saat kemudian, malah kami seakan akrab dengan Helen, dan sengaja pula Helen mengajak makan siang. Wah hari itu benar-benar spesial bagi kami. Helen yang selama ini ku kira sombong dan jaga jarak ternyata ramah dan menyenangkan.

“kalian kenapa bisa kesini?” tiba-tiba Helen membuka pembicaraan diantara kami. Kami hanya saling senyum, malu untuk menjawab.

“ohh, kalian diajak Bimo ya!, kalau Bimo memang sering ketemu, disini karena ayah Bimo kerja disini, iya kan Bim,” wajah Bimo cengar-cengir ke-GR an, sebelum kami menjawab Helen sudah lebih dulu tau.

Pertemuan kami dengan Helen ditempat pemotretan, justru menambabh kedekatan kami. Semenjak peristiwa itu, disekolahpun kami lebih dekat dengannya, bahkan kemanapun Helen pergi, kami selalu setia mengikutinya. Persahabatan kami, berjalan begitu saja, aku sendiri juga menikmatinya. Canda tawa Bimo, Tiar, dan Arya, membuat segalanya tidak terasa. Kedekatan kami dengan Helen, juga membawa dampak lain, yaitu ancaman cemburu dari para cowok-cowok pemuja rahasia Helen. Beruntunglah kami yang bisa dekat dengan Helen.

2 bulan kemudian, peristiwa yang mengejutkan, entah bagaimana kronologis dari peristiwa itu aku tidak terlalu detail. Waktu itu, kami tidak sempat berfikir, pengumuman pagi disekolah, membuat seluruh warga sekolah kami ricuh rame, semuanya membicarakannya. Teman-teman kami meneteskan air mata, guru-guru semua bersedih atas peristiwa pagi itu...

Bersambung...



Saturday, April 13, 2013

misteri bangku depan


Misteri bangku depan
Saat masuk ruang kelas, pasti ribut sendiri, dan saling berebut memilih tempat duduk. Urusan memilih tempat duduk adalah hal yang wajar, karena tanpa kita sadari pasti selalu memilih tempat duduk yang strategis untuk kenyamanan saat belajar.
Namun susana kelas ku saat ini begitu ekstrim masalah posisi tempat duduk. Tak seperti biasanya, hampir sebulan ini terutama anak perempuan di kelasku selalu berangkat pagi-pagi. Ini sangat kontras sekali jika melihat mereka datang terlalu pagi, bahkan di luar kebiasaan mereka sebelumnya. Yah memang sih tidak ada larangan untuk berangkat terlalu pagi. Namun yang membuat aneh kebiasaan itu adalah tujuan dan motif mereka untuk datang pagi adalah menghindari duduk di bangku deretan paling depan.
Aku sendiri juga masih belum tahu kenapa ada pergeseran presepsi yang sebelumnya mereka biasa-biasa saja dan tidak ada yang dipermasalahkan masalah bangku depan atau belakang. Diantara anak laki-laki yang sempat membicarakan masalah itu adalah aku dan Pras, sering sekali kami melihat fenomena itu semakin gak wajar tingakah laku mereka terlalu ekstrim.
                “lihat deh, Gas, coba deh kamu perhatikan tingkah laku anak perempuan yang semakin hari semakin ekstrim” wajah Pras begitu meyakinkan, urat didahi serta penekanan kalimatnya jelas sekali. Dan menunjuk anak-anak perempuan yang menyeret bangku yang ada didepan ke belakang.
                “ekstrim ?? maksudnya kebiasaan mereka yang sekarang gak mau duduk di bangku deretan paling depan?” aku menanggapi perkataan Pras tadi, dengan antusias.
                “ya iyalah Gas, aku jadi curiga kenapa mereka begitu ekstrim dan seolah histeris dan terlalu takut untuk duduk didepan,..” wajah serius Pras berubah menjadi wajah kwahatir dan nada bicara yang membuatku jadi merasa takut juga mendengarnya.
                “hemmm, kamu benar Pras... mencurigakan sekali, sepertinya ada yang disembunyikan dari anak perempuan terhadap anak laki-laki masalah bangku depan, di ruang kelas kita.” Balasku dengan nada yang datar namun sedikit curiga dan penasaran
Ruang kelas dengan fasilitas yang sederhana, papan tulis di depan adalah saksi bisu aktivitas yang terjadi di kelas ku. Bangku-bangku tak bernyawa yang kami duduki juga seolah menyimpan misteri sendiri. Ada beberapa coretan, dengan kata-kata jorok, ada tulisan nakal, tulisan aspirasi-asprasi yang tak tersampaikan hingga kata-kata cinta kelas emperan. Jendela kaca berlapis jeruji besi. Pintu tua yang hanya diam dan terbuka saat ada aktivitas pembelajaran di kelas. Tidak ada yang eneh memang, namun akhir-akhir ini suasana kelas kami terasa aneh.
 Hari ini saja suasana ruang kelas terlihat begitu aneh, tidak seperti biasanya, daretan bangku depan anak perempuan selalu kosong dan tidak ada yang mau duduk di bangku depan. Mereka seperti anak kecil yang takut melihat jarum suntik dan bersembunyi, menghindari duduk di deretan bangku paling depan. Bangku depan seperti di deskriminasi, andai saja bangku depan itu dapat bicara pasti mereka sedih di anak tirikan, tidak diperhatikan dan merasa dikucilkan.
“untuk teman-teman perempuan, silakan bangku depan di isi dulu, dan jangan diseret ke belakang soalnya posisi bengku seperti ini terlihat tidak nyaman” tiba-tiba suara Kamal, mengagetkan kami. Gaya bicara yang khas menyampaikan  pengumuman didepan kelas, dengan postur tubuh yang tinggi dan besar memang pantas sekali dijadikan ketua kelas.
“gak mau” hampir serentak anak perempuan menolak permintaan ketua kelas kami, mereka tetap menyeret bangku depan ke belakang, dan mengosongkan bangku depan, dengan begitu posisi bangku yang ada tepat di belakang bangku depan jadi berubah posisi menjadi bangku depan. Namun ruang kosong di depan semakin luas, sedangkan jatah ruang di belakang semakin penuh, hampir memadati jalan yang ada di depan pintu kelas. Sungguh ironis. Apa yang salah dengan bangku depan.
Aku dan beberapa anak laki-laki hanya bisa diam dan membiarkannya begitu saja. karena aku tahu, kami sudah sama-sama dewasa, tidak pantaslah jika kami memaksa, mereka juga punya hak mau duduk di manapun asal jangan duduk di tempat dosen. Kamal dengan wajah sedikit jengkel namun masih terlihat kalem dan santai dengan senyumannya yang pasrah, hanya menggelengkan kepala, dan kembali duduk ke tempat duduknya semula.
Keadaan ini semakin hari semakin menjadi, yang terlihat jelas adalah saat kami diajar oleh salah satu dosen yang menjengkelkan dan aneh. Wajah ketakutan, gugup, dan khawatir  bercampur menjadi satu. Anak perempuan yang semula terlihat cantik dan manis kini berubah wajah, menjadi gugup dan was-was, perubahan ini sangat jelas sekali. Seperti melihat hantu mereka benar-benar tampak gelisah. Diajar dosen yang tidak kami sukai, rasannya itu seperti masuk di ruang introgasi, tangan dan kaki di tali, mulut disekap, dan dipaksa mendengarkan kata-kata yang tidak penting sungguh membosankan. Aku juga jengkel dengan dosen yang satu ini.
Mitos yang beredar yang pernah aku dengar dari cerita-cerita ini adalah saat aku mencoba bertanya masalah ini pada Westa. Kebetulan aku dekat dengan Westa sudah lama, dan aku ingin tahu kenapa sekarang anak-anak perempuan selalu menghindari duduk di bangku paling depan.
Sepulang kuliah aku sempatkan untuk bicara dengan Westa. Butuh kesabaran bertemu dengan Westa, harus nunggu lama, di depan kelas, karena Westa seperti ibu-ibu arisan yang sedang ngerumpi bersama teman-temannya, ya temannya juga tapi aku tidak mau ikut pembicaraan mereka, mending dengerin musik dan nunggu Westa keluar.
“Gas, gak pulang?” tanya Prass yang asyik dengan memainkan layar sentuh yang  di genggamnya, dengan wajah yang masih terlihat suntuk setelah kuliah yang membosankan tadi.
“enggak Pras, masih nunggu Westa dulu” jawabku santai.,sambil terus melirik ke dalam kelas
“nunggu Westa? Ngapain nunggu Westa cerewet itu, “ lirik Prass dengan nada meninggi,
“kamu gak pengen cari tahu misteri bangku depan Prass” goda ku kepada Prass, dan memang sengaja aku menggoda dan membuat penasaran. Aku tahu Prass orang yang mudah aku pengaruhi.
“beneran Gas, serius?” ah kayaknya aku sudah gak tertarik lagi deh Gas,” dengan gaya yang sok, tidak butuh teman dia, mencoba gantian mempengaruhi ku,
“aku sudah tahu Gas, penyebab kenapa anak perempuan kelas kita gak suka duduk didepan?..” dengan tatapan yang meyakinan, ditambah senyum dari wajahnya dia terlihat seperti tukang hipnotis. Dan aku seperti korbannya. Aku masih terdiam dan tidak begitu saja mempercayainya.
Aku masih terdiam, seolah tak tertarik dengan apa yang dikatakan Prass. Melihat layar sentuh digengamanku, mengalihkan pandangan dan masih gelisah menunnggu Westa.
“hai, udah lama ya..,! dengan wajah polos yang sok akrab”Westa menghampiri kami yang sejak tadi seperti dua orang pelayan menunggu yang sang putri keluar dari istana.
Aku tidak langsung menjawab, melirik ke jam tangan yang ku pakai, dan menununjukanya pada Westa.
“uppzzt, maaf ya Gas, kalo udah bikin kamu nunggu” wajah lugu itu muncul lagi, ditambah senyum manis dari bibir  tipisnya. Prass, yang ada disampingku hanya menoleh dan diam.
“lho Prass juga diajak ta,”lirik Westa kepada Prass.
“yee.., emang gak boleh” balas Prass,
“lha tadi katanya Bagas, dia cuma ingin ngobrol dengan ku, kok jadi kamu juga ikut seh,” wajah Westa berubah lebih sinis menanggapi perkataan Prass tadi,
“udah-udah kalian ini, malah ribut sendiri” aku masuk ke dalam pembicaraan mereka, yang semula hanya diam. Aku takut akan terjadi adu argumen, antara Prass dengan Westa. Karena beberapa hari yang lalu mereka terlihat ada konflik. Sebab Prass, saat maju ke depan presentasi. Dan kebetulan Westa, adalah anak yang tidak puas begitu saja dengan apa yang dia dengar, lalu terjadilah adu argumen yang seru, dan Prass merasa tidak terima, untung suasana lebih tenang kembali saat dosen datang. dan lebih membela argumen dari Westa.
“ayo, mending kita ngobrol di dekat taman yang ada disamping gedung ini” aku mengajak mereka, untuk berdiskusi tentang misteri  bangku depan.
Setelah membeli beberapa camilan dan minuman, kami mencari tempat duduk yang nyaman, dibawah rindang pohon palem, dan disebelah kolam ikan. Taman ini memang di desain sebagi tempat beristirahat. Bangku panjang, berderat, berhadap-hadapan dengan meja kecil diantaranya. Banyak mahasiswa, berkumpul, mengerjakan tugas kelompok disini. Yang membuat taman, ini lebih nyaman lagi, dekat dengan koperasi kampus yang menyediakan berbagai kebutuhan mahasiswa. Akirnya pembicaraan kami mengenai misteri bangku depan dimulai.
“ada apa seh Gas, kamu tiba-tiba ngajak ngobrol” nada Westa meninggi, di ikuti gerakan tangannya yang mengambil cemilan. Dan melirik ke arahku,
“gini lho Wes, sebenarnya gak ada apa-apa, namun aku penasaran dengan tingkah laku teman-teman di kelas, terutama anak perempuan yang akhir-akhir ini terlihat ektrim tidak mau duduk di bangku depan.” Jelas ku kepada Westa, dengan nada pensaran.
“oh.., itu ya Gas, tak kira mau nanya soal apa..” Westa terlihat cengar-cengir dengan senyum nakalnya.
“iya Wes, aku dan Prass, tadi sempat membahas hal ini di kelas, tau sendiri kan, Kamal sang ketua kelas juga menyinggungnya tadi”
“alah kau ini terlalu alay tau Gas,” westa memotong kalimatku
“bener kan Gas, tanya sama Westa enggak dapat jawaban malah ngajak ribut” Prass tiba-tiba ikut dalam pembicaran yang tadi hanya diam, seolah cuek dengan bermain gadget layar sentuhnya yang terbaru.
Aku kembali melirik ke arah Prass, Westa terlihat diam, namun masih mengunyah camilan.
“gini lho Gas, sebenarnya itu gak ada apa-apa, dan gak perlu di permasalahkan, masalah bangku depan itu, masa bodo lah, dan suka-suka mereka kan mau duduk dimana,” penjelasan dari Westa terlihat serius.
Angin tiba-tiba berhembus, daun palem juga saling bergesekan, mendung mulai terlihat, tanda-tanda hujan mulai terlihat.
“bener kan Gas, kalo menurutku kenapa anak perempuan gak mau duduk di depan, selain kelas kita memang pas-pas an, jadi kalo duduk di depan itu pasti panas, apalagi kalo pagi dan siang cahaya matahari yang menembus jendela kaca akan langsung menembus dan menyilaukan mata bila duduk di depan” tambah Prass, yang sekarang satu pendapat dengan Westa. Dan mencoba untuk melirik Westa
“Yups, betul itu Gas, penjelasan dari Prass tadi memang masuk akal, aku setuju dengan argumen dari Prass,”
“wah kok tumben kamu Wes, sekarang membela Prass, bukankah kemarin kalian sempat adu otot gara-gara adu argumen saat presentasi. Aku menggoda mereka berdua.
Akhirnya aku malah jadi sasaran cubitan dari Westa dan tepukan tangan yang memukul lenganku. Prass hanya memakiku dengan kata-kata khas nya,
“ah kau Gas, sekarang sudah jelas kan masalah misteri bangku depan” Prass kembali bicara.
“aku setuju Prass dengan teori mu tadi, selain faktor *******, ternyata penjelasan dari mu tadi cukup logis, mengingat posisi anak perempuan kan selalu di sebelah barat, sedangkan anak laki-laki disebelah timur, jadi terlindungi dari cahaya matahari yang masuk ke kelas.” Tambah ku panjang lebar.
Westa malah cengar-cengir dan tertawa melihatku.
“iyalah, Gas gak mungkin juga hanya gara-gara masalah sepele ini seperti di film-film horor yang kalo duduk di bangku kosong langsung ke surupan” jelas Westa lagi sambil tertawa.
“iya-iya, tapi siapa yang tahu juga soal itu, siapa tahu juga, karena bangku depan itu di diskriminasi, dan tidak ditempati ada makhluk halus atau jin yang beralih menempatinya” aku sedikit mengarang cerita dan menakut-nakuti Westa.
“apa-apaan seh Gas, gaka lucu kali, hari gini masih terlalu percaya hal takhayul kayak gitu” terdengat kalimat Westa sedikit takut. Mendung juga sudah mulai gelap, dan suara petir juga sudah terdengar, tanda-tanda hujan. Dan tidak terasa sudah hampir 2 jam kami disini.
“wah Gas, mau hujan ni, ayo pulang saja” ajak Prass.
“iya Gas, ayo pulang sebelum kehujanan” Westa juga terlihat sudah ingin sekali cepat –pulang.
“iya deh ayo pulang, keburu hujan”. Kami bertiga pulang, ternyata gak ada yang aneh masalah bangku depan, memilih tempat duduk. Ya suka-suka kenapa harus dipermasalahkan, kalo dipandang sebagai hal aneh dan misteri memang terlalu alay, bukan karena faktor******** tapi juga bisa karena faktor lain. Sebelum menuju parkir kami melewati depan kelas kami, dan tak sengaja aku mengintip ruang kelas melalui jendela. Dan aku sempat kaget saat posisi bangku kelas kami acak-acakan seperti di obrak-abrik oleh seseorang. Padahal ruang kelas sepi tak ada orang. Dan setelah kami keluar tidak ada lagi yang memakai ruang kelas kami, karena hari ini, jadwal kami adalah jadwal terkahir.Jangan-jangan.............

Sekian
Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf bila ada kesamaan nama, tempat dan suasana.


















 

Blogger news

Blogroll

About