“kirim enggak, kirim enggak., gimana ne,
kirim enggak ya?” aku bicara sendiri dengan diriku. Menggaruk-garuk kepala yang
tidak gatal, mondar-mandir, berguling-guling dikasur, kembali memencet kontak
dalam gaget ku. “Kenapa aku jadi galau seperti ini ya” lagi aku bicara dengan
diriku sendiri. Menatap wajahku dalam-dalam dalam cermin besar dekat lemariku.
Mengacak-acak tatanan rambut, “ah kenapa kok jadi gini ya”., membuka jendela
kamar, matahari masih terik bersinar gagah diatas sana, sombong dengan cahaya
terang, kututup kembali jendela kamarku. Menjatuhkan diriku lagi ke kasur. “ah
kenapa aku masih berharap dan memikirkannya” bisik hatiku. Membenamkan
kepalaku, diantara bantal-bantal empuk, terus aku masih dipermainkan dengan
pikiranku sendiri.
“kalau aku kirim pesan dia GR enggak ya?”
aku bicara sendiri. Memegang gaget ku, menatap layar, menyentuhnya,
mencari-cari kontak yang ku inginkan. Baru mau menulis satu kalimat.
“jangan kirim pesan, dimana harga diri mu
Gas” sisi lain dari diriku bicara lagi. Haduh, jariku berhenti menekan tombol.
“Ah.., kanapa aku ini, ingin kirim pesan saja kenapa ribet gini”.
Sebenarnya ini bukan soal harga diri,
tapi ini lebih bisa dibilang gengsi, ya gengsi. Aku masih belum bisa berdamai
dengan kejadian kemarin. Saat Fabita menuduhku selingkuh dengan Lina. Fabita
terlalu cemburu kepadaku, padahal aku tidak sengaja mengembalikan tas Lina yang
kebetulan tertinggal dikantin, lalu kuantarkan kepada Lina. Namun urusan ini
jadi lebih rumit lagi saat Fabita dengan bantuan mata-mata temannya tiba-tiba
menuduhku selingkuh dengan Lina.
◊◊◊◊◊
“gas, kamu kenapa sampai bisa nganterin
tasnya Lina, ke kelasnya” siang itu, Fabita datang di depan kelasku saat pulang
kuliah.
“lho kamu kok jadi gini seh Ta, “ aku
masih belum menjawab pertannyaan dari Fabita, dengan wajahnya yang terlihat
marah kepadaku.
“kamu tadi nganterin tas Lina ke kelasnya
bukan?” fabita menyerangku lagi, sedikit dengan nada suara lebih tinggi. Aku
biarkan saja Fabita marah dulu, jangan sampai aku terlarut oleh emosinya. Dia masih
menatapku, bibirnya berubah manyun, poni dirambutnya sedikit berantakan. Tangan
sebelah kanannya mengepal ingin memukulku. Tatapan matanya tajam, bisa kulihat
Fabita akan menjatuhkan air mata.
“kamu masih perhatian kan Gas, dengan
Lina, udah deh ngaku aja, sudah sering aku mendengar kalau kamu sekarang ingin
mendekati Lina lagi?”
“ini tidak seperti yang kamu kita Ta, dan
aku bisa jelasin semuanya, jangan asal nuduh gitu,, aku hargai kecemburuaan mu
tapi jangan kayak gini dong”. Akhirnya dia berlari menjauh, mungkin dia tidak
ingin aku melihatnya menangis. Luapan emosinya meletup., “kamu jahat Gas”..!
terdengar suara Fabita ditujukan untukku. Ini lucu sekali belum sempat aku
menjelaskan dia sudah pergi. Aku tahu rasa sayangnya Fabita itu terlalu over protektif.
Rasa posesifnya sudah level puncak. Selalu curiga, selalu harus di nomor
satukan.
◊◊◊◊◊
“denger ya Lin, rencana kita harus
berhasil, kamu terus deketin Bagas, agar dia seolah-olah ngejar kamu” suara
perempuan jauh terdengar dari telepon.
“ok kamu tenang saja asal perjanjian ini
disepakati, aku akan terus menjalankan misi ini”
“oh iya jangan sampai ada yang tahu
tentang sandiwara ini, semua harus terlihat sesempurna mungkin”
“oK..” percakapan mereka berakhir.
Ini memang aneh, semua penuh dengan sandiwara.
Tidak benar-benar alami. Cinta sekalipun bisa berganti wajah. Dan untuk
mendapatkan apa yang dinginkan, ada harga yang harus dibayar. Ada perasaan yang
dikorbankan. Ada sandiwara yang harus dimainkan. Semoga rencana kita berhasil.
Aku dapat yang aku mau. Dan kamu juga dapat yang kamu mau.
Memori itu masih terekam jelas. Aku belum
benar-benar memaafkanmu. Sekarang saatnya aku membalas semua sakit hati ini.
Jangan pernah berharap aku akan mengasihanmu seperti dulu. Luka itu tak dapat
terhapus begitu saja. Waktu terus membawanya, goresan-goresan kecil masih
membekas jelas. Dan sekarang Tuhan telah memberiku kesempatan. Skenario yang ku
tunggu. Sebentar lagi kamu akan hancur.
Lina menatap tajam foto mantan kekasihnya
sambil tersenyum sinis. Tidak beberapa lama. Ada pesan muncul di layar
gadgetnya.
“maaf ya Lin, gara-gara tadi. Maklumlah
sifat Fabita memang seperti itu” pesan dari Bagas. Persoalan sederhana tadi
memang sempat ramai. Setelah Fabita menemui Bagas. Dia langsung melabrak ke
kelas Lina. Menuduh Lina dan seterusnya.
Lina masih hening sesaat. Pikirannya masih fokus untuk menulis kata-kata dramatis.
“aku paham Gas, Fabita memang cewek
posesif, so sudah aku maafkan kok”
Sengaja aku buat sandiwara ini semakin
menarik. Aku tahu kelemahanmu Gas. Diujung sana pasti kamu mulai terpengaruh
dan terjebak dengan sandiwara ini. Genggaman kemenangan sedikit demi sedikit.
Taburan bumbu mulai ku racik. Menjadi racun yang siap menghanncurkanmu.
◊◊◊◊◊
Balasan pesan dari Lina membuat Bagas
semakin luluh. Ia berusaha mengingat lagi saat dia masih berpacaran dengan
Lina. Harus ia akui bahwa Lina itu gadis kalem, tidak posesif, penurut, tidak
menunut apa-apa. “Bodoh-bodoh” Bagas mengutuk dirinya sendiri. Mengapa aku
meninggalkan Lina, hanya gara-gara Fabita.
Waktu terasa berputar lambat.
Kenangan-kenangan memori itu muncul dalam sekat-sekat ingatan di kepala. Ada
semacam pikiran untuk selingkuh dengan Lina dan meninggalkan Fabita. Namun rasa
sayang Bagas ke Fabita masih besar, lagi pula terlalu munafik juga jika tiba-tiba
ia berpaling kembali kepada Lina.
6 bulan yang lalu sebelum Bagas
berpacaran dengan Fabita. Dia memang mencintai Lina. Kisah mereka sudah
tersohor di berbagai pojok kampus. Kemana-mana selalu berdua. Keromantisan
mereka membuat teman-teman mereka iri. Secara Bagas salah satu cowok cover boy
di kampus. Tidak hanya tampan, tetapi juga pintar. Beruntung sekali Lina
berpacaran dengan Bagas. Namun karena sebuah kecerobohon. Tiba-tiba hubungan
mereka digunjang. Bisikan-bisikan teman-temannya membuat Bagas sombong dan
ingin mencari cewek yang lebih. Itulah kesalahan yang sekrang menghantui
pikiran Bagas. Kenapa begitu mudah dia memutuskan Lina.
Sekarang penyesalan itu tidak ada
artinya. Hubungannya dengan Lina sudah seperti teman biasa, meskipun akhir-akhir
ini Bagas mulai tersentuh menghadirkan rasa cinta romantisme masa lalu mereka.
◊◊◊◊◊
“oke, semua sudah sesuai rencana, tinggal
merangkainya menjadi rangkaian yang cantik, ini harus sukses” Fabita bergumam
dengan dirinya sendiri, setelah menutup telepon.
“gimana Ta, kamu sudah pastikan si Lina
bisa diajak kerja sama?” cowok disebelah Fabita membuka pembicaraan mereka.
“tenang semua sudah sesuai rencana, kita
tinggal menunggu. Sebentar lagi kamu juga akan melihat drama cinta menyedihkan.
Dan kita bisa bersenang-senang berdua.” Senyum licik Fabita, sambil memgang
tangan cowok disebelahnnya.
“kamu memang licik Ta, sungguh kamu
bakalan mau melakukan ini demi aku”
“hehe, bukannya kamu juga yang lebih
licik Sayang,” mereka berdua hanya tertawa,
“Permainan segera di mulai, sebentar lagi
semua orang di kampus juga bakalan tahu siapa yang menjadi pemenang dari cerita
ini.” gumamnya dalam hati.
◊◊◊◊◊
“ayo-ayo”suara teriakan para sporter
pertandingan futsal membahana seluruh ruangan. Hari ini memang ada pertandingan
futsal dalam rangka ulang tahun kampus. Kali ini tim ku melawan tim Surya.
Sangat meriah karena ini adalah partai final. Hampir semua mahasiswa menonton.
Pinggir lapangn berjubel.
“yah kok gak masuk seh” umpat ku, yang
baru saja menendang bola ke arah gawang lawan. Waduh pasti ini gara-gara
semalam. Pikiranku semakin tidak konsen. Pertandingan ini, mau tidak mau aku
harus menang, kalau tidak harga diri ku yang jadi taruhannya. Gengsi jika harus
kalah melawan tim Surya. Dia rival ku, dalam segala hal. Prestasi, cinta, dan
segala hal. Dia selalu kalah dengan ku. Dulu aku pernah taruhan untuk
mendapatkan cinta dari Fabita, kasihan nasibnya selalu menjadi under dog. Dan
jika hari ini aku sampai kalah, maka gantian pula aku yang menanggung malu.
Waktu terus berjalan, menit demi menit
pun berlalu. Babak pertama usai, dan skor masih bertahan 0-0. Aku terus
memperhatikan tribun di atas ku, siapa tahu ada Fabita yang menontonku. Mata ku
tak henti-henti mencari sosok Fabita diantara kerumunan penonton.
“heh Gas, kenapa seh kamu hari ini kok
gak kayak biasanya?” tanya Edo kepada ku.
“iya, neh semalem aku lagi banyak
pikiran”
“oh kamu masih kepikiran peristiwa sama
Lina dan Fabita tempo hari?”
Aku hanya diam. Semua pasti tahu peristiwa
itu, termasuk rival ku Surya. Dan mungkin ini moment yang dia tunggu untuk
membalas kekalahnya kepada ku.
Pertandingan pun dimulai kembali. Tim
sedikit kualahan melawan tim Surya kali ini, sepanjang babak penyisihan tim ku
terkenal tim terkuat. Lawan kami tidak sampai babak kedua, sudah tertinggal
jauh. Entah kenapa di pertandingan final ini, tim ku rasanya sulit sekali untuk
mencetak anggka.
◊◊◊◊◊
“hallo Lin, pastikan Bagas. Jatuh cinta
lagi sama kamu. Hari ini juga saat tim Bagas kalah dengan Tim Surya. Aku akan
putuskan dia, jadi kamu harus siap bersandiwara” suara wanita itu terdengar
sadis.
“ok, tenang saja. Dan aku juga yakin tim
Bagas akan kalah, tadi sebelum bertanding. Aku sudah memasukan obat loyo
kedalam minuman dari tim Bagas.”
‘wah,,, pinter juga kamu Lin, balas
dendam mu memang kejam”
“so pasti siapa dulu, dan kamu lihat saja
sebentar lagi berita kekalahan Bagas akan menggaung seantero kampus”
“hahaha” suara tawa mereka berdua.
Sungguh rencana sadis. Sebentar lagi dendam cinta mereka akan terbalaskan. Bagi
Lina, sakit hati harus berbalas sakit hati.